Jakarta, 2 Oktober 2025 - Pemerintah mematangkan pembentukan Desk Penanganan Persons of Indonesian Descent (PIDs) dan Persons of Filipino Descent (PFDs) sebagai langkah strategis menyelesaikan persoalan kewarganegaraan di kawasan perbatasan. Dalam rapat koordinasi yang digelar Kamis (2/10), pimpinan rapat Herdaus menegaskan perlunya kesepahaman lintas kementerian dan lembaga agar penanganan berjalan lebih terarah. “Rapat ini diharapkan dapat menuntaskan permasalahan dan setiap peserta diharapkan memberi pandangan maupun pencerahannya,” ujarnya membuka diskusi.
Asisten Deputi Koordinasi Strategi Pelayanan Keimigrasian, Agato P. Simamora, melaporkan hasil kunjungan lapangan di Sulawesi Utara yang melibatkan PFDs, Wakil Gubernur Sulut, Wali Kota Bitung, dan Konsulat Filipina. Menurutnya, 237 orang PFDs di Bitung telah diverifikasi sebagai warga negara Filipina. “Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan sisanya, apakah mereka WNI atau WNA. Karena itu, registrasi dan verifikasi ulang sangat diperlukan agar status hukum mereka jelas,” tegasnya.
Paparan mendalam disampaikan oleh Perwakilan dari Direktorat kerjasama Keimigrasian dan Bina perwakilan Ditjenim, Agus A. Majid, yang menekankan faktor geografis dan demografis sebagai akar persoalan. Kedekatan wilayah dan budaya Indonesia–Filipina membuat pergerakan masyarakat lintas batas sudah berlangsung lama. Ia juga menyinggung kerangka hukum yang menjadi dasar, mulai dari Border Crossing Agreement 1956 hingga Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) 2024. “Baik Indonesia maupun Filipina punya dasar hukum masing-masing dalam menentukan kewarganegaraan. Dengan parameter yang jelas, status kewarganegaraan seseorang bisa ditentukan lebih meyakinkan,” ungkapnya.
Dari lapangan, perwakilan Kantor Wilayah Imigrasi Sulawesi Utara melaporkan pendataan yang masih berlangsung. Kantor Imigrasi Bitung mencatat 662 PFDs tersebar di 10 kecamatan, sedangkan Kantor Imigrasi Tahuna mendata 42 orang, terbanyak di Pulau Matutuang. “Baru 12 orang yang sudah diproses, dan kami membentuk TIMPORA melibatkan camat setempat untuk pengawasan serta sosialisasi kepada masyarakat,” jelas perwakilan Imigrasi Tahuna.

Dukungan regulasi juga dipaparkan Direktorat Izin Tinggal dan Status Keimigrasian yang tengah menyusun aturan menteri, sembari menerapkan skema izin tinggal sementara tanpa biaya. Sementara itu, Direktorat Pengawasan dan Penindakan menegaskan prinsip No More Deportation. “Tidak ada deportasi terhadap PFDs selama tidak ada tindak kriminal,” tegas perwakilannya.
Dari pihak Filipina, perwakilan Kedutaan Besar menyampaikan bahwa pemerintahnya telah melakukan registrasi dan sinkronisasi data dengan Indonesia. “Kami sudah meminta dokumen dari Manila, mengirim tim ke Manado, dan mengajukan paspor bagi 237 orang. Tapi perlu waktu 3–4 minggu untuk penerbitan paspor,” jelasnya, sembari meminta jaminan tertulis serta timeline penyelesaian.
Kementerian Luar Negeri menambahkan bahwa hasil rapat ini akan dijadikan capaian untuk pertemuan bilateral berikutnya. “Kami sudah punya framework arah penyelesaian. Namun, begitu paspor diterbitkan, seharusnya persoalan teknis juga bisa segera diselesaikan,” ujar perwakilan Kemenlu.
Menutup sesi, Kantor Staf Presiden menekankan pentingnya koordinasi lintas kementerian dan dukungan penuh terhadap pembentukan Desk Penanganan PPDs serta Satgas Nasional maupun Daerah. Hal ini dipandang sebagai langkah konkret dalam memperkuat kerjasama ASEAN sekaligus memastikan status hukum masyarakat perbatasan lebih jelas dan terlindungi.
