
Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas) menggelar Focus Group Discussion (FGD) guna menghimpun masukan untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pemindahan Narapidana Antarnegara (RUU TSP). Regulasi ini dinilai penting karena hingga kini belum ada dasar hukum khusus yang mengatur mekanisme pemindahan napi ke dan dari luar negeri.
“Permintaan kerja sama dari negara lain terus meningkat, sementara Indonesia membutuhkan landasan hukum yang kuat untuk merespons dinamika global, melindungi hak narapidana, dan menjaga kepentingan nasional,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Hukum Kemenko Kumham Imipas, Nofli.
RUU TSP telah masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah dan diupayakan masuk prioritas tahun 2025. Nofli menambahkan, “Partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Forum ini harus menjadi ruang strategis untuk menyatukan kontribusi akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil.”
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita, menyarankan agar RUU ini menjadi umbrella act yang memperkuat posisi hukum Indonesia di tingkat internasional. Namun ia menyoroti lamanya proses birokrasi. “Kebijakan politik TSP memerlukan kehati-hatian untuk meneliti sejauh mana arah politik negara lain khususnya negara tetangga dalam menyikapi dokumen PBB terkait TSP,” tegasnya.

Senada, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, mengungkapkan urgensi RUU TSP yakni untuk mewujudkan HAM Napi asing, memfasilitasi rehabilitasi dan reintegrasi social Napi di Negara asalnya, meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan pidana dan mengurangi beban pembiayaan negara,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya persetujuan narapidana dalam proses pemindahan agar tidak melanggar prinsip non-refoulement.
Sementara itu, Prof. Hikmahanto Juwana mengingatkan, “RUU harus tunduk pada konstitusi kita, bukan semata-mata pada perjanjian internasional.” Ia juga menekankan kesiapan Indonesia dalam menerima kembali WNI yang sedang menjalani pidana berat di luar negeri.
Direktur Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum, Aisyah Lailiah, menyoroti pentingnya menentukan sasaran TSP ditujukan kepada siapa, dampak yang bisa diukur dan beban keuangan yang harus disiapkan dalam implementasi RUU TSP, ” ujarnya.
Dari sisi masyarakat sipil, Bahaluddin Surya dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menekankan pentingnya pendekatan berbasis kemanusiaan. “RUU ini bukan semata soal pemindahan fisik, tapi membangun mekanisme yang efektif, transparan, dan akuntabel,” tegasnya. Ia juga menekankan perlindungan data pribadi, pengurangan stigma napi, serta penerapan keadilan restoratif.
FGD ini menjadi langkah awal dalam menyusun regulasi yang adil, efisien, dan selaras dengan prinsip hak asasi manusia dalam konteks kerja sama internasional.
Kegiatan FGD ini turut dihadiri Staf Ahli Bidang Kerja Sama dan Hubungan Antar Lembaga Cahyani Suryandari, Staf Khusus Menteri Bidang Isu Strategis, Karjono, Asisten Deputi Koordinasi Pemanfaatan, Pemberdayaan, dan Pelindungan Kekayaan Intelektual, Syarifudin, Asisten Deputi Koordinasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Litigasi, Fiqi Nana Kania, serta Asisten Deputi Koordinasi Strategi Pelayanan Keimigrasian, Agato P.P. Simamora.
